Thursday, November 6, 2008

AQIDAH 2: PROSES PENCARIAN AGAMA

Kesedaran mencari agama.

Salah satu keistimewaan manusia daripada makhluk lainnya iaitu adanya motivasi fitriah(secara fitrah) untuk mengenal hakikat dan mengetahui berbagai fitrah. Fitrah ini mula dilihat sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Ia juga lebih dikenal sebagai rasa ingin tahu (curiousity) yang dapat mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang berkaitan, antara satu dengan lain:

Apakah ada wujud lain yang bersifat non-material dan ghaib? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam ghaib dengan alam material(dunia) ini? Jika benar terdapat hubungan di antara keduanya, apakah wujud non-material itu sebagai pencipta alam material ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fizikal ini sahaja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan di alam lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, apakah persoalan-persoalan duniawi yang dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tatacara hidup yang benar, iaitu sistem yang dapat menjamin kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang terakhir, apakah bentuk sistem dan undang-undang tersebut?. Demikianlah naluri rasa ingin tahu yang merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk hal yang berkaitan dengan agama.

Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai keperluan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai keperluan itu tidak dapat diperoleh kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu.
Dengan itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan material duniawi itu akan dapat dicapai dengan cara mengerahkan fikiran dan pengetahuan Pengetahuan besar seseorang akan sangat membantunya untuk memenuhi pelbagai keperluannya. Jika agama itu dapat membantu untuk memenuhi segala keperluannya dan meraih kesenangan serta keuntungan yang diinginkan juga dapat melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentu agama itu pun akan menjadi elemen(unsur) utama di dalam keperluan hidupnya.

Dari huraian tersebut dapat difahami bahawa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari merbahaya merupakan pendorong lain untuk mencari agama. Akan tetapi, mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak lagi pengetahuan berkaitan semua hakikat yang tidak mungkin dapat terpenuhi. Maka kemungkinan seseorang itu memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan dan yang paling banyak keuntungan dan nilai material. Untuk itu, dia akan memilih jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari berusaha mencari kebenaran agama, yang dia yakini bahawa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau dia meyakini bahawa masalah-masalah agama itu tidak akan membuahkan hasil yang bermakna.
Atas dasar itu, perlu kami jelaskan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama. Selain dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan ditemukan nilai sebesar nilai yang terdapat dalam masalah-masalah agama.

Kita perhatikan bahwa sebagian pakar Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitrah tersendiri, yang umumnya disebut sebagai beragama. Mereka menempatkan beragama sebagai naluri keempat manusia, di samping naluri rasa ingin tahu, rasa ingin berbuat baik (beretika) dan rasa ingin atau suka pada keindahan.

Selain menunjukkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologi, para pakar itu menemukan bahawa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang pasti dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahawa perihal beragama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia.

Umumnya naluri beragama ini tidak bererti bahawa hal itu sentiasa ada dan hidup dalam diri setiap orang dan kemudian mendorongnya secara sedar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, kemungkinan besar fitrah itu tertimbun di dalam jiwanya kerana faktor-faktor yang berkaitan dirinya dan pendidikan yang tidak benar, atau terkeluar dari jalan yang lurus,bagaimana hal-hal ini berlaku —sedikit atau banyak—boleh berlaku ke atas naluri dan kecenderungan lainnya.
Berdasarkan pandangan ini kita dapat mengetahui bahawa mencari agama itu merupakan naluri tersendiri yang ada pada diri setiap manusia. Pandangan ini dapat disokong dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis yang berhubungan dengan naluri beragama. Akan tetapi, kerana naluri dan kecenderungan macam itu tidak dapat dirasakan secara langsung, kemungkinan untuk seseorang akan mengingkari kehadiran naluri tersebut berlaku dalam dirinya pada saat dia melakukan perdebatan atau proses penghujahan. Oleh kerana itu, kami tidak bersandar sepenuhnya pada pandangan ini. Kami akan membahas dan menjelaskan pentingnya mencari agama yang berdasarkan hujjah-hujjah aqli (rasional) dan didokong sepenuhnya oleh nas Al-Quran dan Hadis.

Pentingnya Mencari Agama!

Dari huraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motivasi untuk meraih keuntungan dan keselamatan dari segala bahaya, yang akhirnya menjadi alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan (I’tiqad).

Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui perihal orang-orang besar seperti para Nabi dan Rasul a.s dalam sejarah yang mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalah Ilahi dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka bersedia menanggung berbagai ujian dan kesulitan, sehingga mempertaruhkan nyawa mereka demi tujuan mulia ini, tentunya orang itu—dengan dorongan naluri tersebut—akan tergerak hatinya untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran dakwaan orang-orang besar itu. Apakah mereka membawa hujjah yang kuat untuk membela dakwaan tersebut?, Terutama ketika dia mengetahui bahawa dakwah dan risalah para nabi itu menjanjikan kebahagiaan abadi, di samping peringatan akan adanya pula siksaan yang abadi.

Dalam erti kata lain, keyakinan mereka itu pada dakwah para nabi a.s adalah bersifat kemungkinan memberi keuntungan yang abadi, atau dengan menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, iaitu kerugian dan kesengsaraan yang abadi pula. Dengan itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tidak acuh terhadap agama atau enggan mencari kebenarannya.

Ya, mungkin sahaja sebahagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama kerana beberap alas an seperti merasa malas dan ingin hidup santai serta suka berlengah-lengah, atau kerana meyakini bahawa agama itu akan mensyaratkan berbagai aturan dan mencegah mereka dari melakukan apa yang mereka inginkan. Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai akibat buruk secara alami dari kemalasan dan keseombongannya itu. Sebagai akibat dari tindakan sia-sia itu, mereka pun akan diancam azab yang abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit kemudian menolak ketika diajak berubat ke klinik. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesedaran yang dapat membezakan mana yang baik dan mana yang merbahaya untuk dirinya.

Selain itu, menolak nasihat doktor tidak akan mengakibatkan apa-apa selain kehilangan sejenak rasa senang dalam hidupnya di dunia atau menderita sakit dalam tempoh tertentu. Sedangkan orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membezakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak untuk dirinya, serta dapat menilai antara kenikmatan sementara dan azab yang abadi, maka mereka ini tidak lain tidak bukan kecuali seperti haiwan bahkan lebih teruk dari itu. Di dalam perumpamaan Al-Qur’an, orang-orang yang lalai seperti itu lebih sesat dari binatang ternakan:

Sesungguhnya mereka itu bagaikan binatang ternakan bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Surah Al-A'raf: 179).
Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata itu di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak berfikir.”

(Surah Al-Anfal: 22).
Bersambung...

No comments: