Thursday, November 20, 2008

MUQADDIMAH AKHLAK: SEBUAH NASIHAT YANG PERLU DIRENUNGKAN

Semua bencana yang terjadi di dunia ini tiada lain adalah disebabkan oleh cinta diri dan egoisme. A’da aduwwika nafsuka allati bayna janbaika (musuhmu yang paling sengit adalah dirimu sendiri). Dalam banyak riwayat disebutkan bahawa cinta diri itu adalah musuh manusia yang paling berbahaya dan ibu dari semua berhala. Ibu semua berhala dalah dirimu sendiri. Berhala jenis ini lah yang paling banyak disembah oleh manusia. Selagi berhala ini belum diruntuhkan, maka manusia tidak akan dapat menjadi hamba Allah yang sejati, sebab tidak mungkin kamu menyembah diri dan menyembah Allah SWT dalam satu masa. Penyembahan diri dan Allah SWT merupakan dua hal yang kontradiktif, laksana air dan minyak.

Selagi kita belum menghancurkan dan merobohkan ibu dari semua berhala ini dan tidak menghamba kepada Allah SWT, maka kita akan terus terbelenggu oleh berhala ini. Kewujudan kita akan berubah menjadi sebuah kewujudan yang secara lahiriah menyembah Allah SWT tetapi batinnya menyembah berhala ego. Kita menyebut Allah dengan lisan tetapi yang ada dalam hati kita adalah ego sendiri. Bahkan, kita menginginkan Tuhan untuk kepentingan diri kita. Saat salat kita mengucapkan Sesungguhnya hanya kepada –Mu kami menyembah dan meminta pertolongan, tetapi sebenarnya yang kita sembah adalah ego kita sendiri.

Ketika perhatian kita hanya tertumpu kepada ego, maka yang nampak hanya diri sendiri dan segalanya kita inginkan untuk diri sendiri. Semua bencana yang terjadi kepada umat manusia berakar dari egoisme. Seluruh konflik dan peperangan yang terjadi di dunia ini muncul kerana egoisme. Soalnya, orang-orang mukmin tidak akan pernah konflik antara satu sama lain.

Demikianlah, kiat pertama yang harus kita lakukan adalah meninggalkan berhala ego ini dan melakukan qiyam (bangkit) untuk Allah SWT serta meninggalkan kelalaian yang membuai ini.
Saudara-saudaraku yang beriman…ketahuilah sebenarnya kita kini sedang tidur di alam yang penuh dengan kelalaian. Ketika kelak kita bangun (dari tidur kita), maka kebinatangan kitalah yang bangun ; padahal kita tidur dengan kemanusiaan kita. Rasulullah saw bersabda:

“Manusia dalam keadaan tidur, dan ketika mati barulah mereka terbangun”.

Sekarang ini kita sedang tidur. Pada saat nanti kita mati, barulah kita menyedari betapa kehidupan dunia ini penuh dengan kepalsuan dan khayalan yang bersifat sangat sementara. Para rasul diutus ke dunia untuk membimbing manusia kearah kesempurnaan mutlak dan menyelamatkan manusia dari kegelisahan dan kebingungan, serta mengeluarkan makhluk paling mulia bernama manusia ini dari kegelapan alam jasmani menuju cahaya (alam gaib); dari hijab-hijab cahaya dan kegelapan menuju keadaan yang lebih tinggi. Dalam Munajat Sya’baniyah disebutkan,

“..Ya Allah anugerahkan kepada kami kebergantungan yang total kepada-Mu dan terangilah mata hati kami dengan cahaya pandangan-Mu sehingga mata hati kami dapat mengoyak hijab-hijab cahaya untuk sampai kepada-Mu..”.

Ya Allah!, berilah kami petunjuk sehingga mata hati kami dapat menyaksikan hijab-hijab cahaya untuk sampai kepada-Mu! Islam datang untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan membebaskannya dari hijab-hijab yang ada ini. Hijab yang paling berbahaya adalah hijab ‘ujub ( merasa diri lebih hebat dari orang lain atau kagum dengan diri sendiri), yakni ketika manusia melakukan sesuatu lalu dia merasa lebih hebat dari orang lain. Islam datang untuk menghapuskan kesombongan ini. Kerananya, selama manusia masih melihat kepada dirinya, mustahil ia memperolehi hidayah dan petunjuk Allah SWT. Manusia harus meninggalkan semua itu dengan satu langkah awal melupakan pelbagai syawat dan hawa nafsu yang ada.

Berhubung setiap orang sangat mencintai dirinya, maka ia mengira bahawa setiap perbuatan yang dilakukannya adalah untuk kebaikan dan demi Tuhan. Namun, jika ia menilai dirinya dan meminta penilaian orang-orang yang mengenal Allah SWT, pada saat itu ia akan sadar bahawasanya semua perbuatannya murni untuk kepentingan dirinya sendiri. Jika kamu keluar dari penyembahan diri lalu kamu berjuang, maka perjuanganmu itu bukan untuk dirimu sendiri. Sebab, sudah barang tentu, ketika sudah tiada lagi kepentingan diri, maka tiada pula konflik dan pertengkaran. Para nabi tidak pernah sengketa antara satu sama lainnya. Seandainya para nabi itu dikumpulkan di suatu tempat, niscaya mereka tidak akan pernah bertengkar kerana yang ada adalah satu wajah tanpa ego.

Dalam riwayat disebutkan bahawa kita akan melalui satu shirat (jalan). Sebenarnya, shirat itu bukan berada diatas neraka yang berkobar-kobar api dibawahnya, melainkan didalam lingkungan neraka itu sendiri. Kerana itu, kita bukan meniti shirat di atas neraka melainkan kita melintasi shirat yang berada didalam neraka itu sendiri. Namun, kerana ia seorang mukmin, cahaya keimanannya akan mengalahkan cahaya neraka sehingga cahaya keimanannya akan mengalahkan cahaya neraka itu hampir sahaja padam oleh cahaya si mukmin dan berkatalah neraka: “Wahai mukmin, cepatlah melintas kerana aku tidak tahan dengan cahayamu!”

Kalau rakus kekuasaan sudah menjangkiti manusia dan manusia sudah mengatakan “aku harus menjadi ini dan menjadi itu, dan akulah yang paling layak melakukan ini dan itu” maka ketahuilah bahawa perkataan itu merupakan doktrin utama syaitan. Syaitan paling sering berhasil mempermainkan kita dengan doktrin ini. Misalnya, syaitan membisikkan Anda: “Siapa Anda mau dibanding-bandingkan dengan orang itu!?” Tidak ada bezanya antara orang yang memiliki kekuasaan duniawi dan orang-orang zuhud yang ibadah di masjid bila keduanya sama-sama mengatakan: “Aku telah begini atau aku telah begitu!”

Orang zuhud mengatakan “Aku zuhud!”. Lalu si penguasa mengatakan, “Aku yang berkuasa!” Bahkan, kerusakan yang pertama jauh lebih besar. Ego selalu menjadi sebab kehancuran manusia. Semua kerusakan yang ada di dunia ini muncul dari egoisme, seperti cinta jabatan, kedudukan, nama, cinta kekuasaan, cinta harta dan semisalnya.
Semua cinta itu kembali kepada cinta diri. Bahaya berhala cinta diri ini jauh lebih besar dari semua berhala lain lantaran berhala ini paling sulit dihancurkan.

Meskipun demikian, janganlah engkau berputus asa wahai saudaraku...kerana pintu rahmat Allah tidak preƱa tertutup bagi mereka yang ingin kembali lepada-Nya. Mulailah dari Sekarang.. renungkanglah setiap hari akan kekurangan2 dirimu yang tidak pernah habis dan segeralah bertaubah kepada kekasih kita yang Maha Memerhatikan setiap saat. Bila engkau tak sanggup menghancurkanya dengan erti yang sesungguhnya, maka putuskan kaki dan tangan berhala besar ini dahulu. Kerana, jika dibiarkan, berhala ini akan menyeretmu kepada kehancuran yang tidak berkesudahan. Berhala ego tidak akan membebaskan kita setelah kita berbuat maksiat. Malah sebaliknya, ketika kita sudah berbuat sesuatu maksiat, kita akan digoda lagi supaya melakukan maksiat yang lebih besar. Kita akan ditarik setapak demi setapak sampai syaitan berhasil mencabut agama kita dan hal seperti ini sering terjadi, kerana memang begitulah tugas rutin syaitan (alaihi asyaddu la’nah).. Allah Waliyu at-Taufik wal Isti’an.

Tuesday, November 18, 2008

AQIDAH 3: SYARAT UTAMA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Pada pelajaran yang lalu telah kami jelaskan pentingnya mencari agama dan berusaha mengenal agama yang hak, yang bersumber dari dorongan naluri manusia untuk mencari kebahagiaan dan keselamatan dari segala bahaya. Dorongan itu dapat ditemui pada setiap manusia di dalam jiwanya sendiri. Dalam ungkapan lain, setiap manusia dapat mengetahui naluri insaninya secara langsung dan dengan pengetahuan hudhuri yang tidak mungkin keliru.

Pada pelajaran ini pula kami berusaha untuk membuktikan hal tersebut, akan tetapi dengan kaedah lain yang berdasarkan pada point yang lebih teliti, untuk sampai pada satu kesimpulan bahawa sesungguhnya setiap orang yang tidak mahu mencari agama, tidak mahu berfikir mengenainya dan tidak percaya pada satu pandangan dan ideologi yang benar, maka tidak akan sampai kepada titik kesempurnaan insaninya. Bahkan pada hakikatnya, orang seperti itu tidak dianggap sebagai manusia. Ertinya, syarat utama bagi kehidupan manusia itu adalah komitmen pada pandangan dunia dan ideologi yang benar. Seseorang yang kehidupannya sejajar dengan dua dasar ini (pandangan dunia dan ideologi yang benar), dia akan dapat hidup sebagai seorang manusia yang hakiki.

Hujjahnya bertolak dari tiga dasar, iaitu:
Pertama : Manusia adalah makhluk yang mencari kesempurnaan.

Kedua : Kesempurnaan insani boleh diwujudkan melalui usaha 'ikhtiari' (yang diusahakan) yang muncul dari kesedaran dan akal yang sihat.

Ketiga : Hukum akal terbentuk dari konsep-konsep tertentu, yang terpenting di antaranya ialah tiga prinsip, iaitu :
  1. Pengetahuan akan sumber wujud (Tauhid),
  2. Pengetahuan akan akhir kehidupan (Ma’ad)
  3. Pengetahuan akan jalan keselamatan yang dapat mengarah kepada sistem yang menjamin kebahagiaan (Kenabian).

Kita mulakan pembahasan ini dengan menjelaskan tiga point tersebut satu persatu.

Manusia Makhluk Pencari Kesempurnaan
Jika kita amati berbagai kecenderungan yag ada dalam jiwa kita, kita akan menemukan bahawa kebanyakan kecenderungan tersebut adalah keinginan untuk meraih kesempurnaan. Kita tidak akan menemukan seseorang yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia sentiasa berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan berbagai kekurangan dan keperluan dirinya sampai ia dapat mencapai kesempurnaan iaitu apa yang diinginkan. Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu, ia berusaha sebaik mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila kecenderungan ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sihat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya, baik yang bersifat material maupun maknawi (batin). Namun, bila kecenderungan ini menyimpang dari jalannya yang normal, maka ia akan mewujudkan berbagai sifat buruk seperti bongkak, sombong, riya’, dll.


Dengan demikian kita akan mengetahui bahawa ingin kepada kesempurnaan merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia. Akan tetapi, biasanya faktor itu terbentuk dengan sikap yang dapat menarik perhatian. Kalau direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahawa sesungguhnya dasar dan sumber berbagai sikap zahir itu adalah 'cinta kepada kesempurnaan'.


Akal sebagai wasilah (perantara) menuju Kesempurnaan Manusia
Sesungguhnya proses perkembangan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu bersifat pasti (takwiniah) dan terpaksa kerana tunduknya ia secara total kepada berbagai faktor dan kondisi di luar dirinya. Sebuah pohon tidak tumbuh dengan kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan sesuai dengan kehendaknya, kerana tumbuhan tidak memiliki perasaan dan kehendak. Berbeza dengan binatang, ia mempunyai kehendak dan ikhtiar dalam menuju kesempurnaannya. Akan tetapi kehendak dan ikhtiarnya itu timbul dari naluri haiwaniah semata, yang mana proses dan aktivitinya terbatas hanya pada keperluan-keperluannya syahwatnya sahaja dan atas dasar perasaan yang sempit dan terbatas dengan kadar indera haiwaninya.


Adapun manusia, di samping memiliki segala kelebihan yang dimiliki tumbuhan dan binatang, ia pun memiliki dua keistimewaan lainnya yang bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitriahnya tidak dibatasi oleh keperluan-keperluan semulajadi (Takwiniah), dan dari sisi lain ia memiliki kekuatan akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada sudut yang tidak terbatas. Keistimewaan semacam inilah yang membuat kehendak manusia itu dapat melampaui batasan-batasan material yang sempit, bahkan dapat terus bergerak ke satu tujuan yang tidak terbatas.
Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan hanya boleh berkembang dengan perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai dengan kehendaknya yang muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat inderawi, demikian pula halnya dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada kesempurnaan ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sihat, yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan pada berbagai pilihan, akalnya akan memilih sesuatu yang lebih utama dan lebih penting.


Dari sini dapat kita ketahui bahawa perbuatan manusia itu sebenarnya dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena tujuan haiwani semata-mata adalah perbuatan yang tentunya bersifat haiwani pula, sebagaimana gerakan yang timbul dari kekuatan fisikal dalam tubuh manusia merupakan sebuah gerakan fizik semata-mata.


Perlunya Hukum Praktikal pada dasar teori !
Perbuatan yang diusahakan (ihktiari) merupakan sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dan nilai hasil yang diharapkan itu bergantung kepada kualiti tujuannya dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kesempurnaan ruh. Begitu pula, jika perbuatan sengaja itu kehilangan sisi kesempurnaan ruhnya, ia akan membuahkan hasil yang negatif.
Dengan demikian, akal dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan, apabila ia telah mengetahui tahap-tahap kesempurnaan manusia, hakikat wujudnya, tasawwurat (dimensi-dimesi) yang melingkupi kehidupannya dan tahap kesempurnaan yang mungkin dapat dicapai olehnya. Ertinya, akal harus mengetahui dimensi-dimensi wujud manusia dan tujuan penciptaannya. Oleh kerana itu, akal tidak dapat menggunakan ideologi yang benar dengan baik, kecuali jika ia mempunyai pandangan yang benar mengenai penciptaan alam semesta dan dapat memecahkan berbagai persoalan yang berhubungan dengannya.


Jika akal tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan di atas, ia tidak mungkin dapat menentukan nilai perbuatan tersebut secara pasti. Begitu pula, jika akal tidak mengetahui tujuan hidup, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang harus ditempuh demi tujuan tersebut. Jadi, pengetahuan dasar-dasar bersifat teori dari pandangan dunia merupakan landasan utama bagi nilai-nilai moral dan hukum-hukum praktikal akal.


Jalan Penyelesaian
Berdasarkan pada point-point di atas tadi, kita dapat membuktikan pentingnya usaha mencari agama dan mengerahkan segenap kemampuan untuk menemukan ideologi dan keyakinan yang benar melalui hujjah-hujjah berikut ini:
Bahawa secara fitrah, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menemukan kesempurnaan insaniahnya dengan melakukan berbagai perbuatan. Akan tetapi, untuk memilih perbuatan-perbuatan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya sebagai syarat utama (Tauhid). Puncak kesempurnaan ini hanya dapat diketahui tatkala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalanan hidupnya. Kemudian ia harus mengetahui adanya hubungan samada yang bersifat positif mahupun negatif di antara berbagai perbuatan dengan aneka ragam tahap kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Selama ia belum mengetahui dasar-dasar yang bersifat teori pandangan dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan nilai sistem dan ideologi yang benar.


Dengan demikian, betapa pentingnya berusaha mencari dan mengenal agama yang hak yang mencakupi ideologi dan pandangan dunia yang benar. Kerana jika tidak, seseorang tidak akan dapat mencapai kesempurnaannya yang hakiki. Begitu juga setiap perbuatan yang dilakukan bukan atas dasar nilai-nilai moral dan dasar-dasar pengetahuan seperti itu, ia tidak boleh dianggap sebagai perbuatan yang bersifat insani. Mereka yang malas dan enggan mencari agama yang benar, atau mereka yang mengetahui kebenaran namun mengingkarinya dan menyimpang dari jalannya dengan cara menentangnya dan tunduk sepenuhnya kepada kepentingan haiwani dan kenikmatan duniawi yang sementara, pada hakikatnya mereka adalah haiwan. Allah SWT mengumpamakan mereka didalam Al-Quran :


"Mereka itu hanya bersenang-senang dan pekerjaannya hanyalah makan dan minum tak ubahnya seperti binatang-binatang ternakan.” (Surah Muhammad ayat 12).


Dengan sebab menyia-nyiakan potensi insani dan anugerah Ilahi itu, mereka akan menerima balasan dan siksa yang pedih yang mengerikan di akhirat kelak. Allah swt. berfirman:


“Biarkanlah mereka itu di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan kosongnya, kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatannya itu.” (Surah Al-Hijr ayat 3).

Bersambung...

Thursday, November 6, 2008

AQIDAH 2: PROSES PENCARIAN AGAMA

Kesedaran mencari agama.

Salah satu keistimewaan manusia daripada makhluk lainnya iaitu adanya motivasi fitriah(secara fitrah) untuk mengenal hakikat dan mengetahui berbagai fitrah. Fitrah ini mula dilihat sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Ia juga lebih dikenal sebagai rasa ingin tahu (curiousity) yang dapat mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang berkaitan, antara satu dengan lain:

Apakah ada wujud lain yang bersifat non-material dan ghaib? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam ghaib dengan alam material(dunia) ini? Jika benar terdapat hubungan di antara keduanya, apakah wujud non-material itu sebagai pencipta alam material ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fizikal ini sahaja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan di alam lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, apakah persoalan-persoalan duniawi yang dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tatacara hidup yang benar, iaitu sistem yang dapat menjamin kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang terakhir, apakah bentuk sistem dan undang-undang tersebut?. Demikianlah naluri rasa ingin tahu yang merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk hal yang berkaitan dengan agama.

Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai keperluan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai keperluan itu tidak dapat diperoleh kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu.
Dengan itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan material duniawi itu akan dapat dicapai dengan cara mengerahkan fikiran dan pengetahuan Pengetahuan besar seseorang akan sangat membantunya untuk memenuhi pelbagai keperluannya. Jika agama itu dapat membantu untuk memenuhi segala keperluannya dan meraih kesenangan serta keuntungan yang diinginkan juga dapat melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentu agama itu pun akan menjadi elemen(unsur) utama di dalam keperluan hidupnya.

Dari huraian tersebut dapat difahami bahawa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari merbahaya merupakan pendorong lain untuk mencari agama. Akan tetapi, mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak lagi pengetahuan berkaitan semua hakikat yang tidak mungkin dapat terpenuhi. Maka kemungkinan seseorang itu memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan dan yang paling banyak keuntungan dan nilai material. Untuk itu, dia akan memilih jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari berusaha mencari kebenaran agama, yang dia yakini bahawa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau dia meyakini bahawa masalah-masalah agama itu tidak akan membuahkan hasil yang bermakna.
Atas dasar itu, perlu kami jelaskan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama. Selain dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan ditemukan nilai sebesar nilai yang terdapat dalam masalah-masalah agama.

Kita perhatikan bahwa sebagian pakar Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitrah tersendiri, yang umumnya disebut sebagai beragama. Mereka menempatkan beragama sebagai naluri keempat manusia, di samping naluri rasa ingin tahu, rasa ingin berbuat baik (beretika) dan rasa ingin atau suka pada keindahan.

Selain menunjukkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologi, para pakar itu menemukan bahawa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang pasti dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahawa perihal beragama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia.

Umumnya naluri beragama ini tidak bererti bahawa hal itu sentiasa ada dan hidup dalam diri setiap orang dan kemudian mendorongnya secara sedar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, kemungkinan besar fitrah itu tertimbun di dalam jiwanya kerana faktor-faktor yang berkaitan dirinya dan pendidikan yang tidak benar, atau terkeluar dari jalan yang lurus,bagaimana hal-hal ini berlaku —sedikit atau banyak—boleh berlaku ke atas naluri dan kecenderungan lainnya.
Berdasarkan pandangan ini kita dapat mengetahui bahawa mencari agama itu merupakan naluri tersendiri yang ada pada diri setiap manusia. Pandangan ini dapat disokong dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadis yang berhubungan dengan naluri beragama. Akan tetapi, kerana naluri dan kecenderungan macam itu tidak dapat dirasakan secara langsung, kemungkinan untuk seseorang akan mengingkari kehadiran naluri tersebut berlaku dalam dirinya pada saat dia melakukan perdebatan atau proses penghujahan. Oleh kerana itu, kami tidak bersandar sepenuhnya pada pandangan ini. Kami akan membahas dan menjelaskan pentingnya mencari agama yang berdasarkan hujjah-hujjah aqli (rasional) dan didokong sepenuhnya oleh nas Al-Quran dan Hadis.

Pentingnya Mencari Agama!

Dari huraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motivasi untuk meraih keuntungan dan keselamatan dari segala bahaya, yang akhirnya menjadi alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan (I’tiqad).

Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui perihal orang-orang besar seperti para Nabi dan Rasul a.s dalam sejarah yang mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalah Ilahi dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka bersedia menanggung berbagai ujian dan kesulitan, sehingga mempertaruhkan nyawa mereka demi tujuan mulia ini, tentunya orang itu—dengan dorongan naluri tersebut—akan tergerak hatinya untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran dakwaan orang-orang besar itu. Apakah mereka membawa hujjah yang kuat untuk membela dakwaan tersebut?, Terutama ketika dia mengetahui bahawa dakwah dan risalah para nabi itu menjanjikan kebahagiaan abadi, di samping peringatan akan adanya pula siksaan yang abadi.

Dalam erti kata lain, keyakinan mereka itu pada dakwah para nabi a.s adalah bersifat kemungkinan memberi keuntungan yang abadi, atau dengan menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, iaitu kerugian dan kesengsaraan yang abadi pula. Dengan itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tidak acuh terhadap agama atau enggan mencari kebenarannya.

Ya, mungkin sahaja sebahagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama kerana beberap alas an seperti merasa malas dan ingin hidup santai serta suka berlengah-lengah, atau kerana meyakini bahawa agama itu akan mensyaratkan berbagai aturan dan mencegah mereka dari melakukan apa yang mereka inginkan. Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai akibat buruk secara alami dari kemalasan dan keseombongannya itu. Sebagai akibat dari tindakan sia-sia itu, mereka pun akan diancam azab yang abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit kemudian menolak ketika diajak berubat ke klinik. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesedaran yang dapat membezakan mana yang baik dan mana yang merbahaya untuk dirinya.

Selain itu, menolak nasihat doktor tidak akan mengakibatkan apa-apa selain kehilangan sejenak rasa senang dalam hidupnya di dunia atau menderita sakit dalam tempoh tertentu. Sedangkan orang yang telah mencapai usia dewasa dan berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membezakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak untuk dirinya, serta dapat menilai antara kenikmatan sementara dan azab yang abadi, maka mereka ini tidak lain tidak bukan kecuali seperti haiwan bahkan lebih teruk dari itu. Di dalam perumpamaan Al-Qur’an, orang-orang yang lalai seperti itu lebih sesat dari binatang ternakan:

Sesungguhnya mereka itu bagaikan binatang ternakan bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Surah Al-A'raf: 179).
Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata itu di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak berfikir.”

(Surah Al-Anfal: 22).
Bersambung...

Friday, October 31, 2008

AQIDAH 1: KONSEP BERAGAMA

Apakah itu Agama?


Pengertian Agama
Tujuan penyusunan perbahasan ini ialah menjelaskan akidah Islam yang dikenal dengan istilah ushuluddin (prinsip-prinsip agama). Untuk itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan kata din (agama) secara ringkas dan membahas segala hal yang berhubungan dengannya. Hal itu—sebagaimana telah di-nyatakan dalam ilmu Mantiq(ilmu logika)—adalah penting unuk mengetahui bahawa tahap pembahasan definisi(Mabadi Tashawwuriyyah) mengawali pembahasan masalah lainnya.


Secara bahasa, kata din berasal dari bahasa Arab yang berarti ketaatan atau jalan yang ditaati. Sedangkan secara teknikal,(istilah) din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta, serta kepada sistem hukum praktikal yang sesuai dengan keimanan tersebut. Dari sinilah kata al-la-dini (orang yang tak beragama) digunakan pada orang yang tidak percaya kepada wujud pencipta alam secara mutlak, walaupun ia meyakini shudfah (kejadian yang tak bersebab-akibat –semulajadi-) di alam ini, atau meyakini bahwa terciptanya alam semesta ini akibat interaksi tindak balas alam semata. Adapun kata al-mutadayyin (orang yang beragama) secara umum digunakan pada orang yang percaya akan wujud pencipta alam semesta ini, walaupun kepercayaan atas agama, perilaku dan ibadahnya bercampur dengan berbagai penyimpangan dan khurafat. Atas dasar inilah agama yang dianut oleh umat manusia terbagi menjadi dua; agama yang hak dan agama yang batil. Agama yang hak merupakan dasar yang meliputi keyakinan-keyakinan yang benar; yang sesuai dengan kenyataan, dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dibangun di atas dasar yang kukuh dan dapat dibuktikan kesahihannya.
Ushuluddin dan Cabang-cabangnya.


Dari uraian singkat di atas nampak jelas bahwa istilah din atau agama terdiri dari dua unsur : pertama, akidah atau aqa’id (keyakinan-keyakinan) yang merupakan prinsip agama. Kedua, hukum-hukum praktikal yang merupakan akibat logika dari prinsip agama tersebut.
Oleh karena itu, tepat sekali apabila bahagian akidah ini dinamakan sebagai ushul (prinsip) agama, dan bagian ahkam (hukum-hukum) praktikal pula dinamakan sebagai furu’ (cabang), sebagaimana para ulama Islam menggunakan dua istilah tersebut pada bidang akidah dan hukum-hukum Islam.


Pandangan Dunia (World View) dan Ideologi.
Pandangan dunia (Ar-Ru’yah Al-Kauniyyah) dan ideologi adalah dua istilah yang ertinya saling berhubung kait. Salah satu erti pandangan dunia ialah keyakinan mengenai penciptaan, alam semesta dan manusia, bahkan mengenai wujud secara mutlak.Sedangkan erti ideologi, salah satunya ialah pandangan universal(menyeluruh) tentang sikap praktikal manusia. Berdasarkan dua erti ini, sistem akidah setiap agama dapat dianggap sebagai sebuah pandangan yang bersifat universal, sedangkan sistem hukum praktikal agama yang bersifat umum adalah ideologinya. Maka itu, kedua istilah ini dapat diterapkan pada ushuluddin dan furu’uddin.


Akan tetapi, perlu diperhatikan bahawa istilah ideologi itu tidak meliputi hukum-hukum juz’i (sampingan), begitu pula istilah pandangan dunia itu tidak meliputi keyakinan-keyakinan yang juz'i. Walaupun ada pandangan yang mengatakan bahwa istilah ideologi terkadang digunakan untuk pengertian pandangan dunia itu sendiri.


Pandangan Dunia Ilahi dan Materialisme (kebendaan)
Pada diri umat manusia, terdapat berbagai pandangan dan keyakinan mengenai penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, semua itu dari sisi keimanan atau pengingkaran terhadap alam metafizik (ghaibiat) dapat dibagi menjadi dua bagian utama; pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme.


Dulu, penganut pandangan dunia Materialisme dikenal sebagai ath-thabi’i dan ad-dahri. Terkadang juga disebut sebagai zindiq dan mulhid (ateis). Sedangkan di zaman kita sekarang ini, mereka dikenal sebagai al-maddi (materialistik). Pada kaum materialistic ini sendiri terdapat aliran-aliran, yang paling menonjol pada masa kita sekarang ini adalah Materialisme Dialektika yang merupakan bagian Filsafat Marxisme.


Dari uraian di atas jelaslah bahwa istilah pandangan dunia tidak terbatas hanya pada kepercayaan agama saja, namun mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, karena istilah itu juga digunakan pada pandangan ilhadiyyah (ateisme) dan madiyyah (materialisme), sebagaimana istilah ideologi itu tidak hanya digunakan untuk sistem hukum (perundangan) suatu agama.


Agama Samawi (berasal dari Allah swt) dan Dasar-dasarnya
Para ulama, ahli sejarah agama dan sosiologi berbeza pendapat mengenai kemunculan agama. Adapun sumber-sumber Islam menyatakan bahwa agama tauhid lahir ketika kelahiran manusia pertama. Manusia pertama yang lahir di muka bumi ini adalah nabi (Adam as) dan penyeru ajaran tauhid (mengesakan Allah). Adapun agama-agama musyrik muncul lantaran penyimpangan, pemaksaan atas kehendak dan keinginan busuk, yang bersifat individu mahupun kelompok.


Agama-agama tauhid adalah agama-agama samawi yang hakiki dengan tiga prinsip universal mereka, yaitu pertama: iman kepada Allah Yang Esa. Kedua, iman kepada kehidupan abadi setiap manusia di akhirat kelak untuk menerima pembalasan amal yang pernah ia lakukan semasa hidupnya di dunia. Ketiga, iman kepada para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk memberi hidayah dan bimbingan kepada seluruh umat manusia demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan dunia serta akhirat.


Pada dasarnya, tiga prinsip ini merupakan jawaban yang paling tegas atas persoalan-persoalan asas manusia yang berakal. Iaitu,
Siapakah pencipta alam semesta ini?
Bagaimanakah akhir kehidupan ini?
Apakah cara untuk mengetahui sistem kehidupan yang terbaik?


Sistem kehidupan yang didirikan atas dasar wahyu pada hakikatnya adalah ideologi yang bersumber dari pandangan dunia Ilahi. Prinsip-prinsip akidah itu mempunyai berbagai kesan dan rincian yang semuanya membentuk sebuah sistem akidah agama. Adanya perbezaan di antara berbagai keyakinan tersebut merupakan sebab munculnya berbagai agama dan mazhab. Kita perhatikan bagaimana perbezaan tentang status kenabian sebahagian para nabi Ilahi, juga tentang membuktikan kitab-kitab yang asli menjadi sebab utama perselisihan di antara agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Perbezaan-perbezaan lainnya sekitar masalah akidah dan ibadah, sehingga sebahagian dari agama itu sudah tidak sesuai lagi dengan ajarannya yang asli. Contohnya, keyakinan orang-orang Nasrani terhadap konsep Triniti (kepercayaan terhadap konsep tuhan tiga dalam satu) yang jelas tidak sesuai dengan prinsip Tauhid, walaupun mereka telah berusaha untuk menafsirkan dan menakwilnya sebegitu rupa agar dapat diterima. Demikian pula perselisihan mengenai kepimpinan dan penentuan khalifah setelah wafatnya Rasul saw; Apakah penentuan khalifah itu urusan Allah atau urusan manusia?. Persoalan ini merupakan sebab utama terjadinya ikhtilaf (perbezaan pandangan) antara mazhab Ahli Sunnah dan mazhab Syi’ah di dalam Islam.


Usuluddin iaitu Tauhid, Kenabian dan Ma’ad (Hari Kebangkitan) yang mana ianya adalah prinsip-prinsip akidah pada semua agama samawi. Meskipun begitu, terdapat keyakinan-keyakinan yang merupakan keyakinan yang bertahap dari prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, keyakinan terhadap kewujudan Allah adalah prinsip pertama, terhadap keyakinan pada keesaan-Nya yang merupakan prinsip kedua, atau, keyakinan terhadap Kenabian merupakan sebuah prinsip semua agama samawi, sedangkan keyakinan terhadap kenabian Nabi Muhammad saw adalah prinsip yang khas pada Islam. Sebahagian ulama Syi’ah menjadikan Keadilan Tuhan yang merupakan cabang dari prinsip Tauhid sebagai prinsip akidah khas Syi’ah, dan Imamah (kepimpinan para imam Ahlul Bait) sebagai penyambung dan pemelihara tugas Kenabian—adalah prinsip akidah khas Syi’ah yang lain. Sebenarnya, penggunaan kata prinsip (al-ashl) pada ajaran-ajaran akidah seperti ini mengikuti syarat keagamaan dan tidak perlu lagi diperdebatkan.


Oleh karena itu, kata ushuluddin dapat digunakan dalam dua istilah; umum dan khusus. Istilah umum ushuluddin meliputi akidah-akidah yang sahih; sebagai lawan dari furu’uddin. Sedang istilah khusus ushuluddin berlaku hanya pada keyakinan-keyakinan yang paling utama. Istilah ushuluddin juga dapat digunakan secara mutlak (tidak hanya khusus bagi sebuah agama) pada sejumlah persamaan prinsip akidah di antara agama-agama samawi seperti tiga prinsip di atas tadi, yaitu Tauhid, Kenabian dan Hari Kebangkitan. Adapun jika ditambahkan prinsip-prinsip lainnya, istilah yang biasa digunakan adalah ushuluddin khusus. Demikian pula, jika ditambahkan akidah dan keyakinan yang khas pada mazhab tertentu, istilah yang digunakan adalah ushulul madzhab.

Bersambung...