Tuesday, November 18, 2008

AQIDAH 3: SYARAT UTAMA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Pada pelajaran yang lalu telah kami jelaskan pentingnya mencari agama dan berusaha mengenal agama yang hak, yang bersumber dari dorongan naluri manusia untuk mencari kebahagiaan dan keselamatan dari segala bahaya. Dorongan itu dapat ditemui pada setiap manusia di dalam jiwanya sendiri. Dalam ungkapan lain, setiap manusia dapat mengetahui naluri insaninya secara langsung dan dengan pengetahuan hudhuri yang tidak mungkin keliru.

Pada pelajaran ini pula kami berusaha untuk membuktikan hal tersebut, akan tetapi dengan kaedah lain yang berdasarkan pada point yang lebih teliti, untuk sampai pada satu kesimpulan bahawa sesungguhnya setiap orang yang tidak mahu mencari agama, tidak mahu berfikir mengenainya dan tidak percaya pada satu pandangan dan ideologi yang benar, maka tidak akan sampai kepada titik kesempurnaan insaninya. Bahkan pada hakikatnya, orang seperti itu tidak dianggap sebagai manusia. Ertinya, syarat utama bagi kehidupan manusia itu adalah komitmen pada pandangan dunia dan ideologi yang benar. Seseorang yang kehidupannya sejajar dengan dua dasar ini (pandangan dunia dan ideologi yang benar), dia akan dapat hidup sebagai seorang manusia yang hakiki.

Hujjahnya bertolak dari tiga dasar, iaitu:
Pertama : Manusia adalah makhluk yang mencari kesempurnaan.

Kedua : Kesempurnaan insani boleh diwujudkan melalui usaha 'ikhtiari' (yang diusahakan) yang muncul dari kesedaran dan akal yang sihat.

Ketiga : Hukum akal terbentuk dari konsep-konsep tertentu, yang terpenting di antaranya ialah tiga prinsip, iaitu :
  1. Pengetahuan akan sumber wujud (Tauhid),
  2. Pengetahuan akan akhir kehidupan (Ma’ad)
  3. Pengetahuan akan jalan keselamatan yang dapat mengarah kepada sistem yang menjamin kebahagiaan (Kenabian).

Kita mulakan pembahasan ini dengan menjelaskan tiga point tersebut satu persatu.

Manusia Makhluk Pencari Kesempurnaan
Jika kita amati berbagai kecenderungan yag ada dalam jiwa kita, kita akan menemukan bahawa kebanyakan kecenderungan tersebut adalah keinginan untuk meraih kesempurnaan. Kita tidak akan menemukan seseorang yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia sentiasa berusaha sebaik mungkin untuk menghilangkan berbagai kekurangan dan keperluan dirinya sampai ia dapat mencapai kesempurnaan iaitu apa yang diinginkan. Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu, ia berusaha sebaik mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila kecenderungan ini berjalan sesuai dengan nalurinya yang sihat, ia akan meningkatkan kesempurnaannya, baik yang bersifat material maupun maknawi (batin). Namun, bila kecenderungan ini menyimpang dari jalannya yang normal, maka ia akan mewujudkan berbagai sifat buruk seperti bongkak, sombong, riya’, dll.


Dengan demikian kita akan mengetahui bahawa ingin kepada kesempurnaan merupakan faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia. Akan tetapi, biasanya faktor itu terbentuk dengan sikap yang dapat menarik perhatian. Kalau direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahawa sesungguhnya dasar dan sumber berbagai sikap zahir itu adalah 'cinta kepada kesempurnaan'.


Akal sebagai wasilah (perantara) menuju Kesempurnaan Manusia
Sesungguhnya proses perkembangan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu bersifat pasti (takwiniah) dan terpaksa kerana tunduknya ia secara total kepada berbagai faktor dan kondisi di luar dirinya. Sebuah pohon tidak tumbuh dengan kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan sesuai dengan kehendaknya, kerana tumbuhan tidak memiliki perasaan dan kehendak. Berbeza dengan binatang, ia mempunyai kehendak dan ikhtiar dalam menuju kesempurnaannya. Akan tetapi kehendak dan ikhtiarnya itu timbul dari naluri haiwaniah semata, yang mana proses dan aktivitinya terbatas hanya pada keperluan-keperluannya syahwatnya sahaja dan atas dasar perasaan yang sempit dan terbatas dengan kadar indera haiwaninya.


Adapun manusia, di samping memiliki segala kelebihan yang dimiliki tumbuhan dan binatang, ia pun memiliki dua keistimewaan lainnya yang bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitriahnya tidak dibatasi oleh keperluan-keperluan semulajadi (Takwiniah), dan dari sisi lain ia memiliki kekuatan akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada sudut yang tidak terbatas. Keistimewaan semacam inilah yang membuat kehendak manusia itu dapat melampaui batasan-batasan material yang sempit, bahkan dapat terus bergerak ke satu tujuan yang tidak terbatas.
Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan hanya boleh berkembang dengan perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai dengan kehendaknya yang muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat inderawi, demikian pula halnya dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada hakikatnya terletak pada kesempurnaan ruh yang dapat dicapai melalui kehendaknya dan arahan-arahan akalnya yang sihat, yaitu akal yang telah mengenal berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan pada berbagai pilihan, akalnya akan memilih sesuatu yang lebih utama dan lebih penting.


Dari sini dapat kita ketahui bahawa perbuatan manusia itu sebenarnya dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena tujuan haiwani semata-mata adalah perbuatan yang tentunya bersifat haiwani pula, sebagaimana gerakan yang timbul dari kekuatan fisikal dalam tubuh manusia merupakan sebuah gerakan fizik semata-mata.


Perlunya Hukum Praktikal pada dasar teori !
Perbuatan yang diusahakan (ihktiari) merupakan sarana untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dan nilai hasil yang diharapkan itu bergantung kepada kualiti tujuannya dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kesempurnaan ruh. Begitu pula, jika perbuatan sengaja itu kehilangan sisi kesempurnaan ruhnya, ia akan membuahkan hasil yang negatif.
Dengan demikian, akal dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan, apabila ia telah mengetahui tahap-tahap kesempurnaan manusia, hakikat wujudnya, tasawwurat (dimensi-dimesi) yang melingkupi kehidupannya dan tahap kesempurnaan yang mungkin dapat dicapai olehnya. Ertinya, akal harus mengetahui dimensi-dimensi wujud manusia dan tujuan penciptaannya. Oleh kerana itu, akal tidak dapat menggunakan ideologi yang benar dengan baik, kecuali jika ia mempunyai pandangan yang benar mengenai penciptaan alam semesta dan dapat memecahkan berbagai persoalan yang berhubungan dengannya.


Jika akal tidak dapat memecahkan persoalan-persoalan di atas, ia tidak mungkin dapat menentukan nilai perbuatan tersebut secara pasti. Begitu pula, jika akal tidak mengetahui tujuan hidup, ia tidak akan dapat menentukan jalan yang harus ditempuh demi tujuan tersebut. Jadi, pengetahuan dasar-dasar bersifat teori dari pandangan dunia merupakan landasan utama bagi nilai-nilai moral dan hukum-hukum praktikal akal.


Jalan Penyelesaian
Berdasarkan pada point-point di atas tadi, kita dapat membuktikan pentingnya usaha mencari agama dan mengerahkan segenap kemampuan untuk menemukan ideologi dan keyakinan yang benar melalui hujjah-hujjah berikut ini:
Bahawa secara fitrah, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menemukan kesempurnaan insaniahnya dengan melakukan berbagai perbuatan. Akan tetapi, untuk memilih perbuatan-perbuatan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan yang diinginkan, terlebih dahulu ia harus mengetahui puncak kesempurnaannya sebagai syarat utama (Tauhid). Puncak kesempurnaan ini hanya dapat diketahui tatkala ia telah mengenal hakikat dirinya, awal dan akhir perjalanan hidupnya. Kemudian ia harus mengetahui adanya hubungan samada yang bersifat positif mahupun negatif di antara berbagai perbuatan dengan aneka ragam tahap kesempurnaan, sehingga ia dapat menemukan jalannya yang tepat. Selama ia belum mengetahui dasar-dasar yang bersifat teori pandangan dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan nilai sistem dan ideologi yang benar.


Dengan demikian, betapa pentingnya berusaha mencari dan mengenal agama yang hak yang mencakupi ideologi dan pandangan dunia yang benar. Kerana jika tidak, seseorang tidak akan dapat mencapai kesempurnaannya yang hakiki. Begitu juga setiap perbuatan yang dilakukan bukan atas dasar nilai-nilai moral dan dasar-dasar pengetahuan seperti itu, ia tidak boleh dianggap sebagai perbuatan yang bersifat insani. Mereka yang malas dan enggan mencari agama yang benar, atau mereka yang mengetahui kebenaran namun mengingkarinya dan menyimpang dari jalannya dengan cara menentangnya dan tunduk sepenuhnya kepada kepentingan haiwani dan kenikmatan duniawi yang sementara, pada hakikatnya mereka adalah haiwan. Allah SWT mengumpamakan mereka didalam Al-Quran :


"Mereka itu hanya bersenang-senang dan pekerjaannya hanyalah makan dan minum tak ubahnya seperti binatang-binatang ternakan.” (Surah Muhammad ayat 12).


Dengan sebab menyia-nyiakan potensi insani dan anugerah Ilahi itu, mereka akan menerima balasan dan siksa yang pedih yang mengerikan di akhirat kelak. Allah swt. berfirman:


“Biarkanlah mereka itu di dunia ini makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan kosongnya, kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatannya itu.” (Surah Al-Hijr ayat 3).

Bersambung...

No comments: