Friday, January 23, 2009

AQIDAH (4) - PENYELESAIAN KEPADA BERBAGAI MASALAH UTAMA

Tatkala seseorang berusaha mencari jawapan atas berbagai persoalan berkaitan pandangan dunia dan berusaha mengenal dasar-dasar agama yang benar, ia akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan, iaitu: Pertama,dengan cara apakah yang harus ia tempuhi untuk memecahkan persoalan tersebut? Kedua, apa sahaja jalan-jalan yang telah tersedia untuk memperoleh pengetahuan yang sahih? Ketiga, manakah jalan yang harus dipilih untuk memperoleh pengetahuan itu?
Kajian teknikal yang luas mengenai pertanyaan-pertanyaan ini berada pada bahagian pengetahuan dari ilmu Falsafah, yakni Epistemologi. Ilmu ini (Falsafah), membahas berbagai pengetahuan manusia dan nilai-nilainya. Sementara itu, kami tidak akan membahasnya disini, kerana ianya tidak begitu relevan dengan tujuan penyusunan perbahasan ini.
Walaupun demikian, kami akan membahas masalah-masalah yang diperlukan di sini. Secara terperincinya dalam membahas ilmu falsafah, kami serahkan kepada buku-buku yang secara khusus membahas masalah itu.
Jenis-jenis Pengetahuan
Pengetahuan manusia dapat dibahagi menjadi empat bahagian:
1. Pengetahuan Indera. Seseorang akan memperoleh pengetahuan ini melalui panca inderanya tanpa menafikan peranan khas akal dalam memproses pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan ini biasanya digunakan di berbagai cabang ilmu seperti: Fizik, Kimia, Biologi.
2. Pengetahuan Rasional. Pengetahuan ini tersusun dari konsep-konsep abstraktif yang disebut juga dengan konsep sekunder (ma'qulat tsanawiyah). Dalam hal ini, akal mempunyai peranan utama untuk memperolehi pengetahuan, walaupun pada umumnya digunakan juga indera dan eksperimen dalam proses konsep abstrak atau dalam membentuk point-point. Ruangan ilmu yang meliputi pengetahuan rasional ini adalah ‘Logika, Falsafah, dan Matematik’.
3. Pengetahuan Tekstual. Pengetahuan ini memiliki peranan sekunder kerana ianya bergantung pada pengetahuan sebelumnya, iaitu pengetahuan tentang sumber informasi yang terpercaya (Autoriti) yang diperoleh melalui informasi orang yang jujur. Misalnya, pengetahuan para pemeluk sesebuah agama yang mereka peroleh dari ucapan para pemuka agama tersebut. Boleh jadi keyakinan mereka yang diperoleh dari pengetahuan tekstual (ta'abbudi) ini lebih kukuh dibandingkan dengan keyakinan yang mereka peroleh melalui indera dan eksperimen.
4. Pengetahuan Hudhuri atau Syuhudi. Berbeza dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya, Pengetahuan ini berkait langsung dengan wujudnya objek (ma'lum), tanpa melalui perantara gambaran konseptual di benak akal (mafhum dzihni), serta bebas dari kekeliruan. Akan tetapi, sebagaimana hal itu perlu dijelaskan pada tempatnya, Pengetahuan hudhuri ini biasanya disertai oleh penafsiran konseptual(berkonsep). Maka, kekeliruan sangat mungkin terjadi pada penafsiran yang mengiringi pengetahuan ini.
Jenis-jenis Pandangan Dunia
Berdasarkan jenis pengetahuan di atas tadi, pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta ini dapat dibahagi menjadi empat jenis :
1. Pandangan dunia material (kebendaan)
2. Pandangan dunia falsafi; yang diperoleh melalui analisis rasional dan penalaran akal.
3. Pandangan dunia agama; yang diperoleh dari jalur kepercayaannya pada para pemimpin agama dan pada ucapan-ucapan mereka.
4. Pandangan dunia irfani (gnostik); yang diperoleh melalui jalur kasyf (penyingkapan) dan syuhudi (penyaksian batin).
Selanjutnya, yang perlu dicermati ialah, apakah persoalan-persoalan mendasar di dalam pandangan dunia dapat dipecahkan oleh empat jalur pandangan di atas ini ataukah tidak? Jelas, bahwa pertanyaan ini mendahului penimbangan atas keunggulan satu di atas lainnya.


Analisa fakta :
Mengingat jangkauan pengetahuan kebendaan itu terbatas pada fenomena-fenomena alam materi, kita tidak mungkin dapat mengetahui dasar-dasar pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta dan mengatasi berbagai persoalan yang bersangkutan hanya mengandalkan data-data pengetahuan tersebut. Sebab, persoalan-persoalan semacam ini di luar jangkauan ilmu-ilmu fizik. Ilmu material manapun tidak berbicara seputar masalah-masalah tersebut, baik menafikan ataupun menetapkannya. Sebagai contoh, kita tidak mungkin dapat menetapkan ataupun—na'udzu billah—menafikan wujud Allah melalui penelitian di makmal. Pengalaman indra tidak mampu menilai ada tiadanya sesuatu di luar lingkaran materi.
Karenanya, pandangan dunia material (sesuai dengan penjelasan yang lalu atas istilah "pandangan dunia") tiada lain adalah fatamorgana dan tidak dapat dikatakan sebagai pandangan dunia mengenai wujud dan alam semesta dalam erti yang sebenarnya. Maksimalnya, ia dapat disebut sebagai "pengetahuan tentang alam materi". Dan, pengetahuan semacam ini tidak mampu menuntaskan persoalan-persoalan mendasar dalam pandangan dunia.
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui jalur ta'abbudi (patuh semata-mata)—sesuai dengan yang telah dijelaskan—berlaku dan bernilai secara sekunder, karena kita harus membuktikan terlebih dahulu keberadaan pengetahuan sebelumnya sebagai sumber bagi pengetahuan ini. Misalnya, sehubungan dengan masalah Kenabian, kita harus menetapkan terlebih dahulu kenabian seorang nabi supaya risalah dan seluruh sabdanya itu dapat diakui. Sebelum itu, kita pun harus membuktikan adanya Sang Pengutusnya, yaitu Allah SWT. Jelas bahwa kita tidak akan dapat menetapkan keberadaan Sang Pengutus dan kenabian seorang rasul melalui lisan rasul itu sendiri. Misalnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa mengingat Al-Qur'an telah menjelaskan keberadaan Allah, maka masalah keberadaan Allah itu dianggap selesai (berdasarkan firman-Nya itu sendiri). Yang benar adalah, setelah kita dapat membuktikan keberadaan Allah dan kenabian seorang nabi, dan kita telah mengenalnya secara pasti, juga kita telah membuktikan bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah yang hak, barulah kita dapat menerima berbagai macam keyakinan far'iyah (cabang) lainnya dan ajaran-ajaran yang bersifat praktiskal dengan bersandar kepada informasi orang yang jujur dan sumber yang tepercaya.
Adapun mengenai persoalan-persoalan pokok, kita harus menetapkannya terlebih dahulu melalui pengetahuan yang lain. Dengan demikian, pengetahuan ta'abbudi ini tidak mempunyai peranan langsung dalam menyelesaikan berbagai persoalan pokok di dalam pandangan dunia seputar wujud dan penciptaan alam semesta.
Adapun mengenai pengetahuan hudhuri dan syuhudi, kita memerlukan pembahasan yang luas dan panjang. Mengingat bahwa pertama: pandangan dunia seputar penciptaan alam semesta merupakan pengetahuan yang terbentuk dari gambaran-gambaran konseptual di dalam pikiran, sementara pada konteks hudhuri tidak ada tempat lagi bagi gambaran semacam itu. Dengan demikian, penisbahan gambaran konsep kepada konteks hudhuri lebih merupakan toleransi dan ditilik dari kapasitinya sebagai dasar kemunculan gambaran konseptual tersebut.
Kedua, menjelaskan berbagai perkara-perkara yang hudhuri dan syuhudi melalui kata-kata dan konsep membutuhkan kemampuan dan kekuatan nalar tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar dan latar belakang yang cukup panjang, berupa kemampuan analisa rasional dan falsafah. Seorang yang tidak mempunyai kekuatan semacam ini terpaksa menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep yang abu-abu (mutasyabih) sehingga—sangat mungkin—malah menjadi faktor yang berdampak pada distorsi dan penyimpangan.
Ketiga, seringkali terjadi kesamaran dan kekeliruan antara hakikat realitas yang disaksikan dalam konteks syuhudi itu yang hakiki dengan gambaran-gambaran khayalan serta penafsiran konsep terhadap hakikat tersebut. Bahkan, kekeliruan dan kekaburan itu boleh juga menimpa sekalipun pada si pelaku syuhud (musyahid) itu sendiri.
Keempat, seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali setelah melakukan sair-suluk irfani (jalan-jalan rohani) bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, keimanan dan keyakinan seseorang terhadap metod sair-suluk—yang dianggap sebagai pengetahuan praktikal—bergantung kepada dasar-dasar teori dan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pandangan dunia.
Oleh kerananya, sebelum seseorang itu mulai mengamalkan sair-suluk, ia harus mampu menuntaskan persoalan-perseoalan itu dengan baik. Sedangkan pengetahuan syuhudi itu baru bisa diperoleh tatkala ia berada di dalam atau di puncak perjalanan sair-suluk tersebut. Pada hakikatnya, irfan hakiki itu baru akan dapat dicapai oleh seseorang tatkala ia berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas beribadah kepada Allah. Sementara usaha dan suluknya itu sendiri bergantung kepada pengetahuan tentang Allah SWT dan tentang cara ibadah kepada-Nya.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari ulasan di atas adalah bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang yang berusaha untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi masalah-masalah pokok pandangan dunia adalah jalan logika atau metod rasional. Maka itu, pandangan dunia yang sebenarnya adalah pandangan dunia falsafah.
Akan tetapi, perlu kita ketahui bahawa membatasi upaya mencari jalan keluar atas masalah-masalah tersebut pada metod rasional dan konsep-konsep falsafah tidak berarti bahawa untuk pencapaian pandangan dunia semacam itu bergantung kepada pemecahan atas seluruh persoalan Falsafah. Usaha itu cukup dengan mengkaji sebagian masalah falsafah yang sederhana dan tampak umum. Dengan cara inilah kita dapat membuktikan wujud Allah SWT. Hal ini merupakan masalah yang paling penting dalam pandangan dunia, walaupun studi khusus mengenai masalah-masalah ini dan cara menghadapi berbagai kritik serta keraguan dan pemecahannya memerlukan ketelitian falsafah secara luas.
Begitu pula ketika kita membatasi berbagai pengetahuan yang dapat membuahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar melalui pengetahuan rasional, bukan bererti kita membuang pengetahuan-pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Bahkan kita dapat menggunakan hujah rasional yang sebahagian konsepnya dihasilkan dari jalur ilmu hudhuri atau indra dan eksperimen. Sebagaimana juga kita dapat menggunakan pengetahuan ta'abbudi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah rincian yang biasanya dibuktikan dengan ayat Al-Qur'an dan hadis yang merupakan sumber agama. Akhirnya, tatkala pandangan dunia dan ideologi yang benar itu dapat dicapai, seseorang akan melangsungkan usahanya hingga sampai ke mukasyafah dan musyahadah (penyaksian mata batin) melalui usaha yang gigih dalam menempuh jinjang-jinjang sair-suluk sehingga dapat menyaksikan tanpa melalui konsep-konsep logika berbagai hakikat yang dibuktikan oleh hujah-hujah rasional.

No comments: